publik anusopati
Selasa, 04 Februari 2014
Senin, 03 Februari 2014
sejarah KESENIAN Jaranan ANUSOPATI
- Di Provinsi Jawa Timur tepatnya dikawasan Malang Raya banyak sekali terdapat paguyuban kesenian kuda luming yang hampir menyebar di setiap desa dan kecamatan. Selain jenis kuda lumping pegon, kini lagi terkenal kuda lumping dor. Jenis kuda lumping yang ini (Dor) terkenal dengan gaya bermainnya yang keras dengan atraksi seni tari yang lincah dan teatrical (biasa disebut solah). Salah satunya adalah Paguyuban Kesenian Kuda Lumping ANUSOPATI dari Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Konon cerita, kuda lumping Anusopati ini merupakan kesenian peninggalan dari Kerajaan Singosari pada masa kepemimpinan Raja Anusopati.
Buat sebagian anak muda sekarang, kesenian seperti ini mungkin tidak penting lagi. Namun itu beda dengan pendapat muda-mudi Malang yang sangat menyukai kesenian yang satu ini. Setiap kali ada pertunjukkan kuda lumping dor, banyak sekali dipenuhi dengan muda-mudi yang menyaksikannya. Selain sakral, alasan mereka menyukai kesenian ini adalah permainan keras yang memacu adrenalin. Ya, jenis kudalumping ini beda dengan jenis kuda lumping kebanyakan, karena di kesenian ini samasekali tidak ada atraksi makan beling atau atraksi kekebalan tubuh. Yang ditonjolkan disini adalah seni kalapan dengan gerak khas yang lincah dan menarik serta atraksi kalapan yang keras dengan membawa caplokan (Kayu balok yang menyerupai kepala hewan). Kalau melihat kuda lumping dor, penonton dilarang bersiul! Karena jika sang pemain yang kalap mendengar suara siulan, dia akan marah dan mengincar si pelaku lantas mengejarnya dengan membawa caplokan. Namum tetap aman, karena ada pemain lain yang mengawalnya hingga tidak sampai terjadi peristiwa pemukulan. Namun biarpun dilarang, banyak sekali penonton yang bersiul hingga menyebabkan suasana kalapan semakin magis dan keras.
Sejarah Kuda Lumping
Anusopati candi rejo · 1.482 menyukai ini
Kuda
Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda
tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun
catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat
verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat
jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi
penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda
Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh
Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa,
tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang
dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi
pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya,
tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran
sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari
gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman
bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan
atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti
atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri,
berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini
merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di
lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang
dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Di Jawa Timur, seni
ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang,
Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya
ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu
kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh
Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu
koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya
Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari Kuda Lumping cukup sederhana,
hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret, yaitu seruling
dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi
tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan
perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain
mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Kuda Lumping
ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran
dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk
mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya
dilakukan di lapangan terbuka.
Dalam setiap pagelarannya, tari
Kuda Lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto
Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto
Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6
orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan
menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto
Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton
pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang
menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para
penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan
enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk
memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam
setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki
kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju
serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar
hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam
orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup
dari seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
https://www.facebook.com/permalink.php?id=288402291275173&story_fbid=334450816670320
Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari Kuda Lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Kuda Lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
Langganan:
Komentar (Atom)